JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara terus menunjukkan performa impresif, dengan sektor pertambangan dan industri pengolahan menjadi tulang punggung utama. Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2021, provinsi ini mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi secara nasional pada triwulan IV tahun 2020, yakni mencapai 9,48% (yoy). Sementara secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mencapai 4,92% (yoy), angka yang mengesankan di tengah kontraksi ekonomi yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia akibat pandemi COVID-19.
Peningkatan signifikan ini didorong oleh dominasi sektor pertambangan dan pengolahan mineral, terutama komoditas nikel. Permintaan global terhadap nikel yang terus melonjak, terutama sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik (EV), menjadikan Maluku Utara sebagai pemain strategis dalam rantai pasok global energi bersih.
“Kontribusi sektor pertambangan dan industri pengolahan, khususnya industri nikel, sangat vital bagi PDRB Maluku Utara. Ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi daerah,” ujar perwakilan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Maluku Utara dalam laporannya.
Dominasi Industri Nikel dan Dampaknya
Dalam beberapa tahun terakhir, Maluku Utara telah menarik perhatian investor dalam dan luar negeri sebagai wilayah kaya sumber daya mineral, khususnya nikel. Kehadiran sejumlah smelter dan fasilitas pengolahan di kawasan industri seperti Kawasan Industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) semakin mengokohkan posisi provinsi ini sebagai pusat industri pengolahan nikel nasional.
“Ekspor nikel dari Maluku Utara kini menjadi andalan ekspor Indonesia di sektor mineral. Peningkatan nilai tambah dari hasil tambang yang diolah di dalam negeri berperan besar dalam menumbuhkan ekonomi daerah,” ungkap Direktur Eksekutif IWIP, saat memberikan keterangan pada awal 2024.
Dampak ekonomi dari masifnya aktivitas industri ini terasa luas. Tidak hanya pada peningkatan pendapatan daerah melalui royalti dan pajak, tapi juga terciptanya lapangan kerja langsung maupun tidak langsung di sektor konstruksi, logistik, hingga perdagangan lokal.
Namun, seiring dengan pertumbuhan ini, muncul pula peringatan akan risiko ketergantungan ekonomi yang terlalu besar pada sektor tunggal. Ketergantungan terhadap sumber daya alam seperti nikel bisa menimbulkan efek bumerang jika tidak diimbangi dengan diversifikasi ekonomi.
Ancaman "Kutukan Sumber Daya" dan Risiko Ketidakstabilan
Secara teoritis, fenomena dominasi satu sektor sumber daya dalam perekonomian suatu wilayah disebut sebagai resource curse atau kutukan sumber daya. Istilah ini mengacu pada kondisi di mana daerah yang kaya akan sumber daya alam justru mengalami pertumbuhan yang tidak berkelanjutan, ketimpangan sosial, dan kerentanan ekonomi akibat fluktuasi harga komoditas.
“Ketika ekonomi sangat bergantung pada satu sektor, terutama yang sangat dipengaruhi harga global seperti nikel, maka setiap gejolak pasar dunia bisa langsung berdampak pada kesejahteraan masyarakat lokal,” jelas Ekonom Regional Universitas Khairun, Dr. Amran Salasa.
Salah satu risiko nyata dari ketergantungan ini adalah fluktuasi harga komoditas global. Harga nikel yang sempat melambung tinggi akibat lonjakan permintaan baterai kendaraan listrik bisa turun sewaktu-waktu karena ketegangan geopolitik, perubahan kebijakan dagang, atau perkembangan teknologi alternatif.
Penurunan harga tersebut akan berdampak langsung pada pendapatan daerah, investasi, hingga keberlanjutan proyek-proyek industri yang saat ini sedang berjalan. Ketergantungan ini juga mempersempit ruang fiskal pemerintah daerah untuk membangun sektor lain yang bisa memberikan daya tahan ekonomi lebih kuat, seperti sektor pariwisata, pertanian, dan UMKM.
Pentingnya Strategi Diversifikasi Ekonomi
Guna menghindari jebakan resource curse, para pakar ekonomi dan pemangku kepentingan daerah menekankan perlunya diversifikasi sektor ekonomi. Sektor lain seperti pertanian, kelautan, pariwisata, serta ekonomi kreatif harus mulai mendapatkan perhatian yang setara.
“Pertumbuhan ekonomi yang ideal bukan hanya tinggi, tapi juga inklusif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, penguatan sektor non-tambang menjadi agenda penting ke depan,” terang Kepala Bappeda Provinsi Maluku Utara, Yusri Talib, dalam forum diskusi pembangunan daerah.
Strategi diversifikasi ini tidak hanya akan menciptakan ketahanan ekonomi yang lebih kuat terhadap gejolak eksternal, tetapi juga membuka kesempatan kerja yang lebih luas dan merata di seluruh wilayah provinsi, terutama di daerah-daerah yang tidak memiliki potensi tambang.
Selain itu, isu lingkungan dan keberlanjutan juga tidak bisa diabaikan. Aktivitas tambang yang masif berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan, pencemaran, hingga konflik sosial jika tidak dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik dan transparan.
Refleksi dan Tantangan Masa Depan
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan reflektif tentang makna kemakmuran. Apakah kemakmuran hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi dan kekayaan alam, atau dari kualitas hidup yang holistik, adil, dan berkelanjutan?
“Ketergantungan pada sumber daya alam dapat dianggap sebagai sebuah dilema moral. Kita perlu bertanya: apakah kita bisa menggunakan kekayaan ini tanpa merusak lingkungan dan menciptakan ketimpangan sosial?” ujar dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Indah Kurniawati.
Pertanyaan tersebut menegaskan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang beretika dan berorientasi jangka panjang. Pemerintah daerah, pelaku industri, dan masyarakat sipil harus bersama-sama memastikan bahwa eksploitasi sumber daya dilakukan secara adil, transparan, dan dengan mempertimbangkan hak generasi mendatang.