JAKARTA - Di ujung utara Indonesia, Kabupaten Natuna berdiri sebagai wilayah yang tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga menyimpan warisan budaya yang berakar kuat di tengah arus globalisasi. Terletak di perbatasan langsung dengan Malaysia, daerah ini menjadi wajah terdepan Indonesia di kawasan perbatasan. Namun di balik keindahan laut birunya, Natuna menghadapi tantangan besar: bagaimana menjaga dan melindungi kekayaan budayanya dari kemungkinan klaim negara tetangga.
Budaya Melayu menjadi napas utama kehidupan masyarakat di Natuna. Bahasa, adat, musik, dan seni pertunjukan di wilayah ini memancarkan jejak sejarah yang sama dengan negeri jiran. Kedekatan itu kerap menghadirkan kerentanan, di mana kesamaan budaya bisa menjadi celah munculnya klaim kepemilikan. Menyadari hal itu, Pemerintah Kabupaten Natuna menegaskan komitmennya untuk terus melestarikan warisan budaya sebagai bagian dari upaya mempertahankan jati diri bangsa.
Sejak berdirinya sebagai kabupaten, pelestarian budaya menjadi pilar penting pembangunan daerah. Tujuannya bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga memperkuat karakter masyarakat agar tidak kehilangan identitas di tengah derasnya pengaruh budaya luar.
Langkah Panjang Menjaga Tradisi Leluhur
Langkah nyata pelestarian budaya Natuna mulai menunjukkan hasil pada 2014, ketika Seni Teater Mendu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia oleh pemerintah pusat. Kesenian ini memadukan drama, musik, dan tari dalam satu pertunjukan yang sarat pesan moral. Cerita yang diangkat biasanya berkisah tentang perjuangan, kejujuran, dan nilai-nilai kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun.
Dua tahun kemudian, Gasing dan Lang-Lang Buana menyusul mendapatkan pengakuan serupa. Gasing merupakan permainan tradisional berbahan kayu, sementara Lang-Lang Buana menggambarkan perjalanan manusia mencari kebijaksanaan dalam kehidupan. Kemudian pada 2021, Betingkah Alu Selesung—tradisi masyarakat dalam pengolahan padi dan gotong royong—juga ditetapkan sebagai WBTb nasional.
Perjalanan pelestarian ini tidak selalu mudah. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia antara 2020 hingga 2022 sempat menghentikan banyak kegiatan kebudayaan. Keterbatasan mobilitas dan anggaran membuat pengusulan warisan budaya baru tertunda selama tiga tahun. Meski demikian, semangat masyarakat untuk melestarikan tradisi tidak pernah padam.
Kebangkitan Budaya di Ujung Negeri
Usai masa pandemi, semangat baru untuk menghidupkan kembali tradisi daerah mulai tumbuh. Pemerintah daerah bersama para budayawan dan tokoh masyarakat bergerak menelusuri jejak tradisi yang masih bertahan di kampung-kampung. Puncaknya terjadi pada 10 Oktober 2025, menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Kabupaten Natuna ke-26, ketika kabar gembira datang.
Lima karya budaya asal Natuna resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, yakni Hadrah Natuna, Tari Tupeng Bunguran, Nyuloh Natuna, Kuah Tige, dan Tabel Mando. Kelima karya ini mencerminkan kekayaan ekspresi budaya masyarakat, mulai dari seni pertunjukan, tradisi sosial, hingga kuliner khas yang sarat makna filosofis.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Natuna, Hadisun, menyampaikan bahwa proses pengusulan lima karya budaya tersebut membutuhkan perjuangan panjang. Ia menuturkan, keberhasilan itu diraih berkat kerja keras dan kegigihan berbagai pihak yang tidak kenal lelah mengumpulkan data dan dokumentasi pendukung. Menurutnya, penetapan ini merupakan langkah awal menuju pengakuan internasional yang lebih luas.
Pengakuan tersebut juga menjadi bukti bahwa budaya Natuna tidak hanya hidup di masa lalu, tetapi terus berkembang dan dihidupi oleh masyarakat hingga kini.
Makna Strategis Pelestarian Budaya di Perbatasan
Proses pengakuan karya budaya sebagai WBTb tidaklah sederhana. Setiap tradisi yang diusulkan harus memenuhi sejumlah kriteria, mulai dari kelengkapan dokumentasi berupa video, foto, dan catatan lapangan, hingga bukti bahwa tradisi tersebut masih dipraktikkan oleh masyarakat secara aktif. Keberadaan maestro atau pelaku budaya juga menjadi indikator penting dalam menjaga keberlanjutan tradisi.
Dalam konteks ini, keterlibatan masyarakat menjadi kunci utama. Pemerintah dapat memfasilitasi proses administrasi dan pengakuan, tetapi pelestarian sejati ada di tangan masyarakat yang terus menjaga agar tradisi tetap hidup.
Salah satu tradisi yang menarik perhatian adalah Nyuloh Natuna, ritual turun-temurun yang dahulu digunakan untuk penyembuhan. Kini, ritual tersebut berevolusi menjadi pertunjukan budaya yang menampilkan harmoni antara manusia dan alam.
Sementara itu, Kuah Tige—kuliner khas masyarakat pesisir—menjadi simbol persatuan dan kebersamaan. Hidangan ini bukan hanya makanan, tetapi juga bagian dari tradisi sosial yang selalu hadir dalam upacara adat dan perayaan budaya.
Dua karya lain, Hadrah Natuna dan Tari Tupeng Bunguran, memperlihatkan kedalaman spiritual masyarakat Melayu. Keduanya bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan refleksi kehidupan religius dan sosial masyarakat Natuna. Melalui musik, gerak, dan simbol, seni tersebut mempererat ikatan sosial antarwarga serta memperkaya nilai-nilai kemanusiaan.
Warisan yang Menjadi Benteng Kebudayaan Bangsa
Bagi masyarakat Natuna, menjaga budaya bukan hanya soal kebanggaan, tetapi juga strategi mempertahankan eksistensi bangsa di wilayah perbatasan. Setiap karya budaya yang diakui menjadi bukti sahih bahwa Indonesia memiliki kekayaan tradisi yang tak ternilai. Dengan posisi geografis yang berdekatan dengan Malaysia, pelestarian budaya berfungsi ganda: melindungi identitas dan mencegah klaim budaya dari luar negeri.
Kini, masyarakat Natuna menyadari bahwa lima karya budaya yang diakui secara nasional tersebut merupakan pencapaian besar. Di balik pengakuan itu tersimpan pesan bahwa budaya bukan sekadar peninggalan, melainkan roh kehidupan masyarakat. Ia terus hidup di tengah ombak dan angin laut, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Warisan itu bukan hanya simbol masa lalu, melainkan juga napas yang menghidupi masa depan. Di tangan masyarakat Natuna, budaya tumbuh sebagai benteng peradaban, menjaga agar Indonesia tetap kokoh di panggung dunia. Di ujung negeri yang menjadi batas geografis, kebudayaan kini menjadi batas identitas—penanda yang menegaskan siapa kita sesungguhnya